Mahesa lawung KEBO BULE
Semut ireng anak-anak sapi/
Kebo bongkang nyabrang kali bengawan/
Keong kondhang jarak sungute/
Timun wuku ron wolu/
Surabaya geger kepati/
Gegering wong nguyakmacan/
Cinandak wadahi bumbung/
Alun-alun Kartasuro/
Gajah meto cinancang wit sidoguri/
Mati cineker pitik trondol.
Di dalam konteks Ruwatan, cerita satriya sela gumuling dikisahkan tentang kebo mahesa lawung yang setelah dibunuh raden seta kembali ke wujud semula sebagai Dewa Sambu. cerita ruwatan memuat juga cerita tentang kalagumarang yang setelah diruwat berubah menjadi Dewa Brahma. Semua nama yang dicetak miring itu mempunyai arti kerbau atau kebo.(kalau dihutan disebut banteng)
Dalam tradisi Ruwatan dan acara tedak siten, kita kenal juga penyembelihan kambing kendit, dengan menyebelih hewan ini ada kepercayaaan untuk menyelamatkan jiwa yang terperangkap di dalam raga kambing kendit tersebut.
Mahesa lawung di dalam tradisi jawa sebenarnya bukan sekedar hanya diambil oleh dagingnya saja tapi lebih dari itu ada pemaknaan dan laku tirakat serta ruwatan. Atau dapat disebut meruwat dewa yang salah tempat yang menyebabkan segala bencana. baik itu dibidang pertanian bahkan sampai kehidupan negara dan kerajaaan. hal ini ditandai dengan penanaman/larung kepala kerbau.
Tradisi mahesa lawung ini mulai tertera dalam layar sejarah jawa pada jaman dinasti Syailendra-Sanjaya yang tampak dalam arca Durgamahesasuramandini. Kerbau di konteks Syailendra-Sanjaya tidaklah disembelih tapi yang dibunuh oleh durga adalah setan yaksa yang muncul dari mulut mahesa, karena syetan itu telah merasuki Mahesa sehingga menjadi gila. Cerita ini mengingatkan saya cerita tentang Jaka Tingkir yang akan menunjukkan bekti ke keraton Demak waktu itu. Jaka Tingkir memasukkan tanah ke telinga seekor kerbau yang akhirnya mengamuk di kota demak. Kerbau ini akhirnya mati pecah kepalanya dipukul oleh Jaka Tingkir. Singkat cerita beliau segera diangkat menjadi tamtama di Demak. Ada tokoh lain yang karirnya diawali dengan pembunuhan terhadap kerbau, yaitu Ki Gedhe Pemanahan.Tradisi mahesa lawung sekarang ini, hampir mengikuti tradisi tersebut, dibunuh dengan cara disembelih. Sebagai sajian rajasuya.
Dalam sejarah kita mengenal banyak sekali tokoh dengan nama Kerbau seperti, Kebo Anabrang, Kebi Iwa, Kebo Kenanga, Kebo Kanigara, mahesa wongateleng. Semua tokoh itu, mereka adalah para senapati pilih tanding yang telah dan selalu membentengi Singasari dan Majapahit, merajai darat dan lautan di masanya.
Kebo dalam alam pikir kejawaan mempunyai makna yang dalam bukan sekedar uborampe sebuah ritual. Sejarahe wong Kanung mengungkap, Leluhur kita pada awalnya sangat tertarik dengan prilaku kerbau betina yang begitu gemati (Cinta dengan nyawa sebagai taruhan), ngerti (mengerti), dan wigati (penuh perhatian) terhadap gudel-gudelnya dari ancaman binatang liar pemangsa. Sedangkan kerbau jantan berjalan berkeliling melingkari kerbau betina dan gudelnya. Sejak saat leluhur sepakat untuk menamakan kaumnya atau uwongnya, wong jawa (kerbau jantan) dan tanahnya/buminya disebut tanah jawi (kerbau betina).
Sejak menancapnya akar kekuasaan VOC di tanah nusantara pada masa geger Kartasura, PB II terpaksa harus menjauh ke Ponorogo, dan kemudian diangkat kembali menjadi raja dengan konsekuensi harus mengakomodir semua kepentingan VOC. Sejak itulah kerbau bule bertahta di hati dan anganangan kita. kita menyia-nyiakan kerbau hitam yang berkeringat di sawah, begitu sabar atau saking bodohnya dan selalu tergeletak mati tersembelih dan kepalanya menjadi tumpuan pijakan jembatan atau bangunan. Orang-orang jawa sering memunculkan ungkapan "bodo leya-leyo koyo kebo" ( Bodoh nya seperti kerbau) kalau melihat seorang anak gobloknya setengah mati. Pujangga besar terakhir jawa telah menuliskan Jangka atau ramalan tentang jaman edan. Jaman edan tanda-tandanya adalah "kebo nusu gudel" banyak orang-orang tua meminta atau perlu nasihat dari orang-orang muda.
Senin, 16 Juni 2008
BABAHAN HAWA SANGA
MELATIH ELING LAN WASPADA
Manusia pada dasarnya dituntut 2 pilihan dalam proses pencapaian rohani :
- memilih jalan luhur
- memilih jalan pintas
(pilihan tersebut harus dipilih dengna ketegaran dan kewaspadaan akan peranan jin dalam menghasut manusia).
Babahan hawa sanga mengajarkan manusia kejawen untuk memilih jalan luhur dan selalu waspada dengan jalan pintas yang ditawarkan jin. Jin sangat lihai dalam mengelabuhi bahkan terkadang menggunakan bujukan kasih sayang. Namun pada akhirnya terjadi sengsara. Perlu diketahui, jika kewaspadaan lengah dan manusia terhasut maka kegiatan rohani babahan hawa sanga mengarah pada pelampiasan hawa nafsu duniawi, seperti ingin sakti mandraguna agar dapat kepercayaan dan diakui oleh sesama.
Tawaran menggiurkan jin ketika mempengaruhi 9 lubang hawa nafsu manusia tidak hanya sebuah tawaran, tetapi kenyataan akan terjadi. Jika jin menawarkan sakti, kita akan sakti. Sebagai contoh : praktek-praktek spiritual yang telah banyak berkembang di masa leluhur dan saat ini. Untuk mendapatkan “ilmu kebal lembu sekilan”, dimana ilmu yang menawarkan kekebalan tubuh tanpa ada barang tajam atau tumpul yang mengenai tubuh, tapi berjarak 1 jengkal jari-jari tangan. Ilmu kebal lembu sekilan dilatih dari pembukaan pintu gerbang ruh, mulut, 2 hidung dan 1 dubur. Kemudian setelah terbuka akan berjumpa dengan penghuni 4 lubang hawa nafsu tersebut. Terwujudlah komunikasi antara makhluk penghuni 4 lubang hawa (2 hidung, 1 mulut dan 1 dubur) kita akan ditawari keberhasilan atas keinginan kita, lalu setelah mengucapkan keinginan, penghuni 4 lubang tersebut memberikan ilmu kanuragan tersebut. Sekilas melihat pelatihan rohani tersebut adalah sepele namun memiliki kandungan hawa nafsu kekerasan yang luar biasa dan sulit untuk mengendalikannya. Keinginannya hanya penyelesaian masalah dengan kekerasan.
Cobaan tersebut memang sering dialami oleh manusia kejawen, namun perlu diketahui babahan hawa sanga memminta manusia kejawen untuk mewaspadai hasutan tersebut dan selalu ingat pada Sang Pencipta. Belum lagi jika sudah ditemui oleh penghuni 999 makhluk di organ kita. Kita akan bisa melakukan apa saja yang kita mau, seperti menghilang kemudian muncul kembali, pergi dengan jarak 60 km hanya dengan 5 menit bahkan hanya dengan 1 kedipan mata, bisa terbang di atas angin atau merubah daun menjadi emas atau uang dan lain-lain. Namun hal itu maya, walaupun nyata terjadi. Pilihan tersebut bukanlah abadi. Disitulah letak bujukan jin atas 999 penghuni organ kita. 999 organ apabila mampu dibuka, kita akan seperti nenek moyang yang memiliki ajian bala sewu atau sukma sewu. Jika diterapkan, kita memiliki 999 wajah yang serupa dengan kita. Namun, nenek moyang kita hanya digunakan saat berperang melawan musuh atau dalam kondisi terancam bahaya.
Babahan hawa sanga adalah warisan leluhur. Saat ini banyak cerita mitos tentang nenek moyang kita yang saktinya luar biasa. Hal itu bukanlah cerita mitos semata, karena sampai sekarang pengalaman tersebut masih ada yang memiliki di pinggiran kota. Ketika ayah saya masih hidup, saya pernah melihat ayah membunyikan jari kelingking di depan pohon randu alas di wilayah Muntilan, Kecamatan Gantiwarno, Klaten, Jawa Tengah. Setelah membunyikan jari kelingking, pohon randu alas tersebut menikukkan ujungnya sampai di permukaan tanah. Apakah hal itu sama halnya yang dilakukan Ki Ageng Giring ketika mengambil buah kelapa (menurut cerita mitos –red-).
Boleh-boleh saja mengatakan itu imajinasi atau berkhayal karena hal itu adalah hak prinsip pribadi masing-masing. Terserah bagi yang menilai, itu pendapat penilaian yang artinya persepsi, hakiki adanya. Namun, alangkah baiknya jika dicoba dulu misteri babahan hawa sanga ini, pasti akan mengalami. Kalau sudah mengalami pasti akan berbicara beda.
Kembali kepada pengetahuan babahan hawa sanga. Di dalam pengetahuan ini, bertujuan untuk mencari sangkan paraning dumadi atau mencari jalan terang Sang Pencipta, ketika esok kita kembali kepada-Nya. Pengetahuan ini tidak mengajak umat manusia untuk melatih kesaktian tetapi beribadah kepada Sang Pencipta sesuai perkembangan masa, waktu manusia atau masa waktu beribadah lahir. Kemudian beribadah batin (jiwa pikiran) dan kemudian beribadah ruh.
Babahan hawa sanga mengajak melatih kesetiaan tubuh jasmani, dengan cara membangun keteguhan, ketekunan dan kepastian terhadap Sang Pencipta. Tubuh jasmani dipersujud sembahkan kepada Sang Pencipta dengan mengikuti aturan-aturan kegiatan rohani seperti samadi. Tubuh memiliki kandungan hawa nafsu negatif, oleh karena itu harus disucikan dengan kegiatan devasi (penderitaan). Ibadah milah masih bersifat individu atau pribadi atau belum untuk sesama.
Sedangkan jiwa pikiran diteguhkan keyakinannya agar selalu tunduk, sujud dan hormat kepada Sang Pencipta. Kesetiaan dan kepasrahan dibina, kemudian direalisasikan di lingkungan keluarga, lingkungan kerja maupun lingkungan sosial. Realisasi tersebut bermaksud untuk menguji kesetiaan yang penuh ikhlas dan rela pasrah. Salah satu cara yang diuji adalah melakukan pelayanan penyembuhan bagi yang membutuhkan. Jika sudah memiliki energi prana yang besar dan lebih, kenapa tidak disumbangkan bagi yang membutuhkan. Itulah dasar-dasar menguji kesetiaan jiwa pikiran kita terhadap Sang Pencipta. Kita akan mengeluh tidak ataukah kalau sudah mampu menyembuhkan apakah kita akan menyumbangkan diri atau angkuh? Jelasnya, keteguhan jiwa pikiran ini terhadap Sang Pencipta sebagai perwujudan titah Sang Pencipta atas hubungan horisontal, yaitu hubungan baik dengan sesama manusia dan sesama makhluk semesta. Ibadah ini disebut tarekat.
Di dalam melatih kesetiaan pribadi ruh dengan Sang Pencipta diperlukan ibadah ruh. Persujudan menyembah kepada Sang Pencipta dilakukan secara tulus iklas dan rela pasrah dilakukan oleh pribadi ruh. Bukan lagi melalui lahir atau jiwa pikiran saja, tetapi pribadi ruh saatnya memimpin tubuh jasmani dan jiwa pikiran beserta kelengkapannya (rasa, kalbu, naluri, budi dan atman). Persujudan ini adalh wujud hubungan vertikal hubungan antara ruh pribadi manusia dengan Sang Pencipta. Untuk mencapai tahapan interaksi Sang Pencipta, ruh pribadi harus melakukan pekerjaan alam astral yaitu ikut berkewajiban menyeimbangkan, menselaraskan dan mengharmoniskan makhluk penghuni alam astral. Dari pengalaman vertikal, akan mendapatkan nilai-nilai luhur bagaimana harus mengembangkan masalah tanggung dunia, dalam hubungan pengetahuan ini adalah mengentaskan hambatan di dalam penyembuhan bagi yang membutuhkan.
MELATIH ELING LAN WASPADA
Manusia pada dasarnya dituntut 2 pilihan dalam proses pencapaian rohani :
- memilih jalan luhur
- memilih jalan pintas
(pilihan tersebut harus dipilih dengna ketegaran dan kewaspadaan akan peranan jin dalam menghasut manusia).
Babahan hawa sanga mengajarkan manusia kejawen untuk memilih jalan luhur dan selalu waspada dengan jalan pintas yang ditawarkan jin. Jin sangat lihai dalam mengelabuhi bahkan terkadang menggunakan bujukan kasih sayang. Namun pada akhirnya terjadi sengsara. Perlu diketahui, jika kewaspadaan lengah dan manusia terhasut maka kegiatan rohani babahan hawa sanga mengarah pada pelampiasan hawa nafsu duniawi, seperti ingin sakti mandraguna agar dapat kepercayaan dan diakui oleh sesama.
Tawaran menggiurkan jin ketika mempengaruhi 9 lubang hawa nafsu manusia tidak hanya sebuah tawaran, tetapi kenyataan akan terjadi. Jika jin menawarkan sakti, kita akan sakti. Sebagai contoh : praktek-praktek spiritual yang telah banyak berkembang di masa leluhur dan saat ini. Untuk mendapatkan “ilmu kebal lembu sekilan”, dimana ilmu yang menawarkan kekebalan tubuh tanpa ada barang tajam atau tumpul yang mengenai tubuh, tapi berjarak 1 jengkal jari-jari tangan. Ilmu kebal lembu sekilan dilatih dari pembukaan pintu gerbang ruh, mulut, 2 hidung dan 1 dubur. Kemudian setelah terbuka akan berjumpa dengan penghuni 4 lubang hawa nafsu tersebut. Terwujudlah komunikasi antara makhluk penghuni 4 lubang hawa (2 hidung, 1 mulut dan 1 dubur) kita akan ditawari keberhasilan atas keinginan kita, lalu setelah mengucapkan keinginan, penghuni 4 lubang tersebut memberikan ilmu kanuragan tersebut. Sekilas melihat pelatihan rohani tersebut adalah sepele namun memiliki kandungan hawa nafsu kekerasan yang luar biasa dan sulit untuk mengendalikannya. Keinginannya hanya penyelesaian masalah dengan kekerasan.
Cobaan tersebut memang sering dialami oleh manusia kejawen, namun perlu diketahui babahan hawa sanga memminta manusia kejawen untuk mewaspadai hasutan tersebut dan selalu ingat pada Sang Pencipta. Belum lagi jika sudah ditemui oleh penghuni 999 makhluk di organ kita. Kita akan bisa melakukan apa saja yang kita mau, seperti menghilang kemudian muncul kembali, pergi dengan jarak 60 km hanya dengan 5 menit bahkan hanya dengan 1 kedipan mata, bisa terbang di atas angin atau merubah daun menjadi emas atau uang dan lain-lain. Namun hal itu maya, walaupun nyata terjadi. Pilihan tersebut bukanlah abadi. Disitulah letak bujukan jin atas 999 penghuni organ kita. 999 organ apabila mampu dibuka, kita akan seperti nenek moyang yang memiliki ajian bala sewu atau sukma sewu. Jika diterapkan, kita memiliki 999 wajah yang serupa dengan kita. Namun, nenek moyang kita hanya digunakan saat berperang melawan musuh atau dalam kondisi terancam bahaya.
Babahan hawa sanga adalah warisan leluhur. Saat ini banyak cerita mitos tentang nenek moyang kita yang saktinya luar biasa. Hal itu bukanlah cerita mitos semata, karena sampai sekarang pengalaman tersebut masih ada yang memiliki di pinggiran kota. Ketika ayah saya masih hidup, saya pernah melihat ayah membunyikan jari kelingking di depan pohon randu alas di wilayah Muntilan, Kecamatan Gantiwarno, Klaten, Jawa Tengah. Setelah membunyikan jari kelingking, pohon randu alas tersebut menikukkan ujungnya sampai di permukaan tanah. Apakah hal itu sama halnya yang dilakukan Ki Ageng Giring ketika mengambil buah kelapa (menurut cerita mitos –red-).
Boleh-boleh saja mengatakan itu imajinasi atau berkhayal karena hal itu adalah hak prinsip pribadi masing-masing. Terserah bagi yang menilai, itu pendapat penilaian yang artinya persepsi, hakiki adanya. Namun, alangkah baiknya jika dicoba dulu misteri babahan hawa sanga ini, pasti akan mengalami. Kalau sudah mengalami pasti akan berbicara beda.
Kembali kepada pengetahuan babahan hawa sanga. Di dalam pengetahuan ini, bertujuan untuk mencari sangkan paraning dumadi atau mencari jalan terang Sang Pencipta, ketika esok kita kembali kepada-Nya. Pengetahuan ini tidak mengajak umat manusia untuk melatih kesaktian tetapi beribadah kepada Sang Pencipta sesuai perkembangan masa, waktu manusia atau masa waktu beribadah lahir. Kemudian beribadah batin (jiwa pikiran) dan kemudian beribadah ruh.
Babahan hawa sanga mengajak melatih kesetiaan tubuh jasmani, dengan cara membangun keteguhan, ketekunan dan kepastian terhadap Sang Pencipta. Tubuh jasmani dipersujud sembahkan kepada Sang Pencipta dengan mengikuti aturan-aturan kegiatan rohani seperti samadi. Tubuh memiliki kandungan hawa nafsu negatif, oleh karena itu harus disucikan dengan kegiatan devasi (penderitaan). Ibadah milah masih bersifat individu atau pribadi atau belum untuk sesama.
Sedangkan jiwa pikiran diteguhkan keyakinannya agar selalu tunduk, sujud dan hormat kepada Sang Pencipta. Kesetiaan dan kepasrahan dibina, kemudian direalisasikan di lingkungan keluarga, lingkungan kerja maupun lingkungan sosial. Realisasi tersebut bermaksud untuk menguji kesetiaan yang penuh ikhlas dan rela pasrah. Salah satu cara yang diuji adalah melakukan pelayanan penyembuhan bagi yang membutuhkan. Jika sudah memiliki energi prana yang besar dan lebih, kenapa tidak disumbangkan bagi yang membutuhkan. Itulah dasar-dasar menguji kesetiaan jiwa pikiran kita terhadap Sang Pencipta. Kita akan mengeluh tidak ataukah kalau sudah mampu menyembuhkan apakah kita akan menyumbangkan diri atau angkuh? Jelasnya, keteguhan jiwa pikiran ini terhadap Sang Pencipta sebagai perwujudan titah Sang Pencipta atas hubungan horisontal, yaitu hubungan baik dengan sesama manusia dan sesama makhluk semesta. Ibadah ini disebut tarekat.
Di dalam melatih kesetiaan pribadi ruh dengan Sang Pencipta diperlukan ibadah ruh. Persujudan menyembah kepada Sang Pencipta dilakukan secara tulus iklas dan rela pasrah dilakukan oleh pribadi ruh. Bukan lagi melalui lahir atau jiwa pikiran saja, tetapi pribadi ruh saatnya memimpin tubuh jasmani dan jiwa pikiran beserta kelengkapannya (rasa, kalbu, naluri, budi dan atman). Persujudan ini adalh wujud hubungan vertikal hubungan antara ruh pribadi manusia dengan Sang Pencipta. Untuk mencapai tahapan interaksi Sang Pencipta, ruh pribadi harus melakukan pekerjaan alam astral yaitu ikut berkewajiban menyeimbangkan, menselaraskan dan mengharmoniskan makhluk penghuni alam astral. Dari pengalaman vertikal, akan mendapatkan nilai-nilai luhur bagaimana harus mengembangkan masalah tanggung dunia, dalam hubungan pengetahuan ini adalah mengentaskan hambatan di dalam penyembuhan bagi yang membutuhkan.
Selasa, 10 Juni 2008
Pathok Negoro
Rekonsiliasi dan Deklarasi Pathok Negoro
Disadari, sebuah negara tanpa memiliki kejelasan ideologi sama artinya menjadi negara bayang-bayang. Negara yang bukan senyatanya. Kesadaran seperti ini secara terus menerus akan memberikan rangsangan positif bagi pertumbuhan dan perkembangan spirit dan mental sebuah bangsa.
Nyaris sepuluh tahun lamanya sejak arus besar reformasi bergulir, sejak cita-cita reformasi disadari jalan di tempat, jutaan rakyat negara ini mulai mengalami kekosongan, kejenuhan, serta hilangnya interaksi kepercayaan atas kepemimpinan negara. Dan yang paling dahsyat, adalah hilangnya kepercayaan terhadap dirinya sendiri. Itu artinya, rangsangan positif bagi pertumbuhan dan perkembangan spirit dan mental sebuah bangsa sedang dalam posisi terancam.
Keterancaman ini otomatis membuat rakyat gelisah. Dan kegelisahan itu sudah menampakkan wujud nyatanya. Contoh yang sederhana; begitu gampangnya orang mematikan sesamanya hanya gara-gara utang-piutang, begitu mudahnya perkosaan, pencabulan dilakukan oleh orang-orang dari semua golongan umur, begitu sederhananya sekelompok orang mengharamkan kelompok lainnya, begitu seramnya sebuah ormas menghabisi ormas lainnya yang tak sepaham, begitu naifnya orang memelototi sesamanya hanya karena tersenggol kulitnya, begitu seenaknya kelompok bermodal membabati hutan-hutan hingga banjir dan longsor tiada henti terjadi, begitu menggampangnya pabrik-pabrik membuang limbah produksinya ke sungai-sungai, padahal mereka tahu belaka air sungai itu dibuat mandi, mencuci bahkan untuk kebutuhan minum, makin mudahnya buruh-buruh hanya dijadikan alat-alat produksi yang mudah diinjak, dan seterusnya.
Tentu ini bukan era kegelisahan. Bukan pula cita-cita reformasi. Namun fenomena-fenomena itu makin ”diresapi” masyarakat. Ini sungguh mengerikan. Sebab itu, saat ini, dan sangat mendesak, kita membutuhkan sebuah pencerahan. Wujudnya adalah rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi memungkinkan seluruh elemen bangsa yang sedang bersitegang, bersinggungan, terlibat ”pertempuran” untuk bertemu dan duduk satu meja satu atap. Berangkulan, berbicara, berembug, lalu memutuskan untuk mengembalikan cita-cita luhur bangsa ini agar menjadi negara kuat, disegani, makmur, bermartabat di tengah percaturan dunia global yang makin menggiriskan.
Rekonsialiasi nasional ini bisa menjadi tonggak (baca: pathok negoro) untuk menangkis sekaligus mengikis isu-isu globalisme bikinan negara-negara maju yang adi kuasa. Rel pencerahan itu sudah ada. Founding fathter negeri ini sudah meletakkan dasar-dasarnya, yaitu Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila. Dalam konteks ini, kita hanya perlu membuang karatnya, mengasah kembali bagian-bagian yang tumpul atau yang sengaja ditumpulkan, mencuci dan mengelap kisi-kisinya hingga sempurna agar siap digunakan sesuai fungsi dan filsafatnya. Setelah itu menguncinya dalam sebuah Rekonsiliasi dan Deklarasi Pathok Negoro dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila.
Adalah abstrak ketika gagasan besar untuk pencerahan jutaan rakyat negeri ini tersebut tanpa dibarengi sebuah “gerakan”. Terkait dengan itu, elemen-elemen kebangsaan terdiri dari; Gerakan Moral Rekonsiliasi Pancasila, Paguyuban Tri Tunggal Studi Kajian Teologi Kerakyatan, Pusat Studi Tamansari Dunia dengan Komunitas Masyarakat Adat Abdi Dalem dan 14 (empatbelas) elemen kekuatan sosial lainnya menggelar Kirab Rekonsilasi. Ribuan masyarakat Bhineka Tunggal Ika akan berkumpul dari Lapangan Kota Barat Solo kemudian melakukan kirab membelah jalan-jalan utama Kota Solo Kamis Kliwon, 7 Februari 2008. Klimaks dari gerakan moral tersebut adalah Rekonsiliasi dan Deklarasi Pathok Negoro di Balaikota Surakarta oleh rakyat Indonesia yang diwakili oleh tokoh-tokoh nasional yang dimiliki negeri ini.
Disadari, sebuah negara tanpa memiliki kejelasan ideologi sama artinya menjadi negara bayang-bayang. Negara yang bukan senyatanya. Kesadaran seperti ini secara terus menerus akan memberikan rangsangan positif bagi pertumbuhan dan perkembangan spirit dan mental sebuah bangsa.
Nyaris sepuluh tahun lamanya sejak arus besar reformasi bergulir, sejak cita-cita reformasi disadari jalan di tempat, jutaan rakyat negara ini mulai mengalami kekosongan, kejenuhan, serta hilangnya interaksi kepercayaan atas kepemimpinan negara. Dan yang paling dahsyat, adalah hilangnya kepercayaan terhadap dirinya sendiri. Itu artinya, rangsangan positif bagi pertumbuhan dan perkembangan spirit dan mental sebuah bangsa sedang dalam posisi terancam.
Keterancaman ini otomatis membuat rakyat gelisah. Dan kegelisahan itu sudah menampakkan wujud nyatanya. Contoh yang sederhana; begitu gampangnya orang mematikan sesamanya hanya gara-gara utang-piutang, begitu mudahnya perkosaan, pencabulan dilakukan oleh orang-orang dari semua golongan umur, begitu sederhananya sekelompok orang mengharamkan kelompok lainnya, begitu seramnya sebuah ormas menghabisi ormas lainnya yang tak sepaham, begitu naifnya orang memelototi sesamanya hanya karena tersenggol kulitnya, begitu seenaknya kelompok bermodal membabati hutan-hutan hingga banjir dan longsor tiada henti terjadi, begitu menggampangnya pabrik-pabrik membuang limbah produksinya ke sungai-sungai, padahal mereka tahu belaka air sungai itu dibuat mandi, mencuci bahkan untuk kebutuhan minum, makin mudahnya buruh-buruh hanya dijadikan alat-alat produksi yang mudah diinjak, dan seterusnya.
Tentu ini bukan era kegelisahan. Bukan pula cita-cita reformasi. Namun fenomena-fenomena itu makin ”diresapi” masyarakat. Ini sungguh mengerikan. Sebab itu, saat ini, dan sangat mendesak, kita membutuhkan sebuah pencerahan. Wujudnya adalah rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi memungkinkan seluruh elemen bangsa yang sedang bersitegang, bersinggungan, terlibat ”pertempuran” untuk bertemu dan duduk satu meja satu atap. Berangkulan, berbicara, berembug, lalu memutuskan untuk mengembalikan cita-cita luhur bangsa ini agar menjadi negara kuat, disegani, makmur, bermartabat di tengah percaturan dunia global yang makin menggiriskan.
Rekonsialiasi nasional ini bisa menjadi tonggak (baca: pathok negoro) untuk menangkis sekaligus mengikis isu-isu globalisme bikinan negara-negara maju yang adi kuasa. Rel pencerahan itu sudah ada. Founding fathter negeri ini sudah meletakkan dasar-dasarnya, yaitu Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila. Dalam konteks ini, kita hanya perlu membuang karatnya, mengasah kembali bagian-bagian yang tumpul atau yang sengaja ditumpulkan, mencuci dan mengelap kisi-kisinya hingga sempurna agar siap digunakan sesuai fungsi dan filsafatnya. Setelah itu menguncinya dalam sebuah Rekonsiliasi dan Deklarasi Pathok Negoro dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila.
Adalah abstrak ketika gagasan besar untuk pencerahan jutaan rakyat negeri ini tersebut tanpa dibarengi sebuah “gerakan”. Terkait dengan itu, elemen-elemen kebangsaan terdiri dari; Gerakan Moral Rekonsiliasi Pancasila, Paguyuban Tri Tunggal Studi Kajian Teologi Kerakyatan, Pusat Studi Tamansari Dunia dengan Komunitas Masyarakat Adat Abdi Dalem dan 14 (empatbelas) elemen kekuatan sosial lainnya menggelar Kirab Rekonsilasi. Ribuan masyarakat Bhineka Tunggal Ika akan berkumpul dari Lapangan Kota Barat Solo kemudian melakukan kirab membelah jalan-jalan utama Kota Solo Kamis Kliwon, 7 Februari 2008. Klimaks dari gerakan moral tersebut adalah Rekonsiliasi dan Deklarasi Pathok Negoro di Balaikota Surakarta oleh rakyat Indonesia yang diwakili oleh tokoh-tokoh nasional yang dimiliki negeri ini.
Langganan:
Postingan (Atom)