Selasa, 10 Juni 2008

Pathok Negoro

Rekonsiliasi dan Deklarasi Pathok Negoro

Disadari, sebuah negara tanpa memiliki kejelasan ideologi sama artinya menjadi negara bayang-bayang. Negara yang bukan senyatanya. Kesadaran seperti ini secara terus menerus akan memberikan rangsangan positif bagi pertumbuhan dan perkembangan spirit dan mental sebuah bangsa.

Nyaris sepuluh tahun lamanya sejak arus besar reformasi bergulir, sejak cita-cita reformasi disadari jalan di tempat, jutaan rakyat negara ini mulai mengalami kekosongan, kejenuhan, serta hilangnya interaksi kepercayaan atas kepemimpinan negara. Dan yang paling dahsyat, adalah hilangnya kepercayaan terhadap dirinya sendiri. Itu artinya, rangsangan positif bagi pertumbuhan dan perkembangan spirit dan mental sebuah bangsa sedang dalam posisi terancam.
Keterancaman ini otomatis membuat rakyat gelisah. Dan kegelisahan itu sudah menampakkan wujud nyatanya. Contoh yang sederhana; begitu gampangnya orang mematikan sesamanya hanya gara-gara utang-piutang, begitu mudahnya perkosaan, pencabulan dilakukan oleh orang-orang dari semua golongan umur, begitu sederhananya sekelompok orang mengharamkan kelompok lainnya, begitu seramnya sebuah ormas menghabisi ormas lainnya yang tak sepaham, begitu naifnya orang memelototi sesamanya hanya karena tersenggol kulitnya, begitu seenaknya kelompok bermodal membabati hutan-hutan hingga banjir dan longsor tiada henti terjadi, begitu menggampangnya pabrik-pabrik membuang limbah produksinya ke sungai-sungai, padahal mereka tahu belaka air sungai itu dibuat mandi, mencuci bahkan untuk kebutuhan minum, makin mudahnya buruh-buruh hanya dijadikan alat-alat produksi yang mudah diinjak, dan seterusnya.
Tentu ini bukan era kegelisahan. Bukan pula cita-cita reformasi. Namun fenomena-fenomena itu makin ”diresapi” masyarakat. Ini sungguh mengerikan. Sebab itu, saat ini, dan sangat mendesak, kita membutuhkan sebuah pencerahan. Wujudnya adalah rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi memungkinkan seluruh elemen bangsa yang sedang bersitegang, bersinggungan, terlibat ”pertempuran” untuk bertemu dan duduk satu meja satu atap. Berangkulan, berbicara, berembug, lalu memutuskan untuk mengembalikan cita-cita luhur bangsa ini agar menjadi negara kuat, disegani, makmur, bermartabat di tengah percaturan dunia global yang makin menggiriskan.
Rekonsialiasi nasional ini bisa menjadi tonggak (baca: pathok negoro) untuk menangkis sekaligus mengikis isu-isu globalisme bikinan negara-negara maju yang adi kuasa. Rel pencerahan itu sudah ada. Founding fathter negeri ini sudah meletakkan dasar-dasarnya, yaitu Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila. Dalam konteks ini, kita hanya perlu membuang karatnya, mengasah kembali bagian-bagian yang tumpul atau yang sengaja ditumpulkan, mencuci dan mengelap kisi-kisinya hingga sempurna agar siap digunakan sesuai fungsi dan filsafatnya. Setelah itu menguncinya dalam sebuah Rekonsiliasi dan Deklarasi Pathok Negoro dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila.
Adalah abstrak ketika gagasan besar untuk pencerahan jutaan rakyat negeri ini tersebut tanpa dibarengi sebuah “gerakan”. Terkait dengan itu, elemen-elemen kebangsaan terdiri dari; Gerakan Moral Rekonsiliasi Pancasila, Paguyuban Tri Tunggal Studi Kajian Teologi Kerakyatan, Pusat Studi Tamansari Dunia dengan Komunitas Masyarakat Adat Abdi Dalem dan 14 (empatbelas) elemen kekuatan sosial lainnya menggelar Kirab Rekonsilasi. Ribuan masyarakat Bhineka Tunggal Ika akan berkumpul dari Lapangan Kota Barat Solo kemudian melakukan kirab membelah jalan-jalan utama Kota Solo Kamis Kliwon, 7 Februari 2008. Klimaks dari gerakan moral tersebut adalah Rekonsiliasi dan Deklarasi Pathok Negoro di Balaikota Surakarta oleh rakyat Indonesia yang diwakili oleh tokoh-tokoh nasional yang dimiliki negeri ini.

Tidak ada komentar: